Menelisik kembali tentang sekolah inklusi yang
menjadi dengungan dunia pendidikan Indonesia, apakah sekolah inklusi telah
menemukan tempatnya dengan nyaman, atau kah masih memerlukan banyak koreksi
dari berbagai lapisan? Lapisan yang dimaksudkan adalah lapisan sistem,
paradigma masyarakat, keturutsertaan masyarakat dalam peran aktifnya, dan tentu
tak lepas oleh peran pemerintah sebagai penguat yudisial.
Sebelum lebih jauh mengupasnya, mari kita
berkenalan terlebih dahulu dengan apa yang disebut sekolah inklusi. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009
menyebutkan bahwa: Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan
yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan
dan memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa untuk mengikuti
pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama
dengan peserta didik pada umumnya. Secara operasional, Watterdal (2005) menjelaskan
dalam Kuning (2010) bahwa sebuah pendidikan inklusi adalah merangkul dan
menerima keragaman. Tidak hanya mentolerirnya, tapi juga mendorong
keingintahuan dan kreativitas. Bukan hanya menyesuaikan atau kompromi , tapi
juga menciptakan sebuah semangat kompetisi yang konstruktif . Bukan di antara
anak, tapi anak-anak tersebut akan bersaing dengan dirinya sendiri. Secara
mudah, sekolah inklusi adalah sebuah sekolah dimana anak berkebutuhan khusus
dengan anak normal duduk di suatu kelas yang sama dengan sekolah yang sama,
namun tetap ada guru khusus yang menemani anak berkebutuhan khusus ini belajar
dikelas jika diperlukan.
Tentu pengertian tentang sekolah inklusi ini
memberi semacam pencerah bagi dunia pendidikan anak yang selama ini masih
berada dalam lorong panjang tanpa cahaya. Sekolah inklusi memberi jawaban atas
banyak doa-doa anak berkebutuhan khusus diluaran sana yang menginginkan sekolah
yang sama dengan teman sebayanya. Tidak hanya pendidikan yang mereka dapatkan
dari adanya sekolah inklusi, lebih dari itu bahkan kepercayaan diri anak
berkebutuhan khusus dapat meningkat bersama dengan dunia pertemanan mereka yang
meluas, dan tidak adanya lagi diskriminasi atas hak-hak mereka. Sekolah inklusi
tidak hanya memberi jawaban atas doa mereka, namun menjadi pembelajaran
tersendiri bagi siswa biasa yang duduk bersama di bangku sekolah dengan teman
berkebutuhan khususnya, mereka diajarkan menerima perbedaan dan akhirnya mereka
menganggap semua kawannya adalah sama. Sama dalam arti tidak lagi untuk
dibedakan bagaimana dia secara fisik atau mental, karena akhirnya mereka
menjadi paham bahwa pertemanan menembus segala keterbatasan bahkan tidak ada
lagi kata-kata “aku tidak berteman dengannya, karena aku berbeda dengannya.”
Anak-anak akan memahami dunia ini adalah dunia yang berwarna dengan segala
rupa, dengan segala isi yang beraneka.
Tulisan diatas terdengar sangat optimis. Ya
benar, kita memang harus selalu optimis pada sebuah kebijakan dan sistem yang
ada, sikap optimis atas sistem ini tidak akan terlaksana tanpa adanya suatu
aksi yang nyata dengan mendukung dan turut serta melaksanakannya. Namun, tidak
pantas juga jika kita hanya melihat dengan mata satu yang tertutup, kedua mata
memang harus terjaga mengawasi segala bentuk kemungkinan. Maka, patutlah
dipertanyakan, apakah kurikulum pendidikan kita telah siap dengan adanya
sekolah inklusi? Mengingat bahwa penilaian siswa biasa dengan siswa
berkebutuhan khusus itu berbeda pencapaiannya. Selanjutnya, apakah tenaga
pendidik mampu memenuhi kebutuhan siswa berkebutuhan khusus dan siswa biasa,
melihat bahwa tidak semua guru memiliki rasa untuk membina siswanya, karena
selam ini banyak guru yang hanya mengajar tidak mendidik apa lagi membina. Dan
yang paling penting, adalah bagaimana cara menanamkan rasa toleransi dan
kebersatuan bagi siswa biasa untuk lebih memahami kawannya yang berkebutuhan
khusus. Apakah malah dengan adanya kawan yang berkebutuhan khusus ini siswa
yang lain menjadi terpecah konsentrasinya? Jika semua pertanyaan ini tidak
mampu terjawab dengan tepat, maka sekolah inklusi hanya seperti solusi semu
yang kemudian memberi masalah baru di dunia pendidikan. Hal ini tidak hanya
omong kosong belaka, karena di beberapa sekolah yang sempat ditemui, sekolah yang
awalnya umum mendadak menjadi sekolah inklusi hanya karena Surat Keputusan,
tanpa ditanya kesiapanya. Dari sedikit sisi ini mungkin kita bisa sedikit
terbuka, apakah sekolah inklusi memang jawaban yang tepat? Apapun atau
bagaimana pun, Indonesia dengan pendidikannya harus tetap optimis! Sebaik
apapun retorika dilantunkan, seideal apapun kebijakan diputuskan jika tanpa
adanya peran aktif semua tangan masyarakat, maka akan sama saja.
Sakti Mutiara
Dari atas kereta, 080613
Kontributor adalah mahasiswi Psikologi 2011 UGM,
aktif di NUANSA sebagai Kepala Sekolah